“Hahahaha….kekufuran
apalagi yang tidak aku tiupkan???” aku terus melenggang dari satu tempat ke
tempat yang lain.
“Kekufuran apalagi yang tidak aku sisipkan???” aku pun terduduk
sambil menghitung.
“Kekufuran apalagi yang tidak aku hembuskan???” aku mulai
mengingat.
“Kekufuran apalagi yang tidak aku bisikkan???” dan aku mulai
menceracau.
“Ini memang sudah tugasku, sejak dulu memang begitu. Tapi, bukankah
tidak seharusnya mereka menyalahkan diriku? Aku hanya berlaku sebagai pengajak,
dan bukan sebagai pemaksa.”
Ia lahir dengan memiliki tanda keagungan, bukan ia yang meminta
seperti itu. Dan sebelum kelahirannya pun ia sudah menjadi yang terkasih. Namun
sejak itu, tugasku pun mulai menjadi berat. Aku yang telah memperdaya jutaan
bahkan lebih umat manusia dengan segala macam kenikmatan yang mereka peroleh
secara instan, kini harus mulai menyusun strategi seolah hendak berperang
menghadapi seorang anak manusia yang kelahirannya akan menjadi pengubah rasio
umat manusia sebelumnya.
Sejak ia lahir, sekalipun
tanpa seorang ayah yang menanti proses lahirnya. Ya, ia seorang anak yatim yang
sejak lahirnya tidak pernah mengenal wajah bapaknya. Ia pun diasingkan ke
daerah pedalaman, bukan maksud hati sang bunda ingin membuang melainkan
menjaganya dari hawa jahiliyah masyarakat Quraisy. Sejak kecilnya, ia
terpelihara walau tanpa pengawasan kedua orang tua.
Ia tidak pernah mengeluh kesah, masa kecilnya ia habiskan bersama
sang kakek yang memiliki kewibawaan luar biasa karena sang bunda pun akhirnya
meninggalkannya hingga lengkaplah ia menjadi seorang yatim piatu. Ia tak pernah
bersedih, karena sang kakek amat sangat mencintainya. Tapi itu tidak berselang
lama, sang kakek pun menyusul kedua orang tuanya. Maka, tinggallah ia bersama
sang paman yang menyayanginya tanpa pamrih.
Kejahatan ini harus aku sisipkan di dalam tubuhnya, namun ia selalu
dijaga dengan kekuatan yang Maha Dahsyat. Jika terus seperti ini, tugasku akan
terbengkalai.
“Akankah ia tergoda dengan harta dagangan yang dititipkan kepadanya
oleh saudagar janda nan cantik rupawan???”, aku pun mulai melancarkan
jurus-jurus maut yang menggoda agar ia mau mengikutiku.
“Sungguh Amin …. tanpa gaya iming-iming seorang penjual ia
mampu menjual dagangan titipan tersebut hingga terjual habis. Darimana ia
belajar berniaga? Sedang, sejak kecil ia hanyalah seorang penggembala miskin”
aku terus berujar sendiri.
Kini ia mulai menghembuskan nilai-nilai moral kepada manusia yang
mulai memunggungiku, satu persatu dan tidak ada keraguan dari mereka terus
mengikuti jejaknya. Dan lama kelamaan aku mulai merasa tersingkir dengan
kehadirannya.
“Aku tidak akan tinggal diam….!!! Aku pun mulai menyisipkan rasa
ketidaksenangan kepada tetangganya yang tidak mau mengikuti jejaknya. Dan
kepada mereka aku sisipkan kejelekan-kejelekan yang seolah-olah berasal
darinya, agar ia terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Iringan para muhajirin pun nampak menjauh mencari kota baru yang
dijanjikan keamanannya. Dan ia bersama para pengikutnya mulai menyusun strategi
untuk memperluas wilayah mereka dan memberdayakan
masyarakat setempat.
“Kan ku tanamkan kebencian
ke dalam lubuk hati manusia yang lemah, mereka yang selalu tidak pernah mau
menghargai arti dari keberadaan seseorang, mereka yang tidak pernah mengenal
rasa syukur, mereka yang selalu tamak, haus akan kekuasaan, mereka yang hanya
selalu berangan-angan.”
Tiba saat yang amat kalut, menggalaukan
hatinya dengan penuh kesedihan. Sang istri yang selalu menemani dan menjadi ibu
bagi keturunannya, pergi meninggalkannya untuk selamanya. Di tahun yang sama,
sang paman yang selalu melindunginya pun pergi meninggalkannya.
“Bukankah ia merupakan yang terkasih? Mengapa
ia yang tidak mampu diperdaya olehku, harus merasakan kesedihan itu?”
Untuk mengurangi rasa kesedihannya, ia
mendapat tiket perjalanan gratis sampai langit ke tujuh. Ia diperjalankan
dengan kekuatan yang ekstra cepat, dan dengan kekuatan yang maha dahsyat. Daari
perjalanannya itu membawa oleh-oleh yang katanya untuk manusia yang selalu
mengikutinya dan selalu mendengarkannya. Oleh-oleh tersebut merupakan sarana
ibadah yang katanya disebut dengan shalat lima waktu.
“Hahaha...satu lagi jalan yang menuntunku
untuk mecari pengikutku. Akan ku tanamkan rasa malas pada umat manusia dalam
pelaksanaan shalat lima waktu. Akan ku buat mereka enggan bangun tidur di waktu
shubuh. Akan ku buat mereka sibuk dengan pekerjaan mereka di waktu dzuhur. Akan
ku buat mereka merasa lelah karena bekerja di waktu ashar dan maghrib. Akan ku
buat mereka mengantuk dan tidur di waktu isya. Hahaha...mereka akan terjerat
kali ini!!!”
Umat yang mengaku beragama Islam pun mengikuti
perintahnya untuk melaksanakan shalat lima waktu, namun di antara kesemuanya
akan aku sisipkan pada sebagian kecil mereka yang lengah akan keimanan. Mereka
boleh saja mengaku berislam, tapi belum tentu mereka beriman. Dan aku bisikkan rasa
malas itu ke telinga mereka dari berbagai aspek yang merepotkan.
Gerakan mereka semakin lama semakin meluas,
strategi pemerintahan pun mulai diajarkan kepada mereka. Orang-orang terpilih
dari musyawarah diberikan kesempatan untuk memegang tampuk kekuasaan. Sejak
saat itu, manusia berlomba-lomba untuk mencari dukungan-dukungan suara yang
dapat mengangkat mereka ke singgasana kekuasaan.
“Satu lagi....yah...satu lagi...jalan yang
terbuka untuk ku sisipkan godaanku. Mereka yang berkuasa dan memegang amanat
umat, dapatkah mereka bertahan dengan rayuan emas hasil upeti yang seharusnya
untuk kesejahteraan umat manusia???”
Ia yang terkasih dan manusia pilihan kini
lemah terbaring dan tidak berdaya. Umatnya merasakan kesedihan yang luar biasa.
Mereka semua berkumpul untuk mendengarkan pesan terakhirnya. Ia mengatakan
telah menjadi sempurna agama Islam, dan mereka harus mengambil keputusan dengan
bermusyawarah.
Sampai akhirnya, ia pun menghembuskan nafas
terakhirnya dan meninggalkan istri, anak, dan cucunya yang sangat menyeganinya.
Sekalipun ia seorang pemimpin, namun tidak ada harta yang ditinggalkannya untuk
sanak famili. Ia sungguh hidup dalam kesederhanaan.
“Semakin mudah saja aku hembuskan kemalasan di
ubun-ubun mereka, dan akan ku porak-porandakan kekuatan persaudaraan mereka
dengan singgasana kepemimpinan yang terus merajuk dengan iming-iming kekuasaan.
Hmmm....sungguh mereka merugi dengan keberuntungan-keberuntungan tersebut.”
Sungguh
mereka semakin terlena dengan kekuasaan tersebut. Mereka berlomba-lomba dan
bersaing untuk menduduki tahta, lebih sengit lagi, dan mereka akan berpencar
dan saling memusuhi satu sama lain. Musyawarah yang telah ia ajarkan tidak lagi
menjadi satu prioritas dalam mengambil keputusan.
Singgasana pun menjadi warisan yang tidak
dapat dibawa dalam musyawarah. Nepotisme sudah menjadi tren di kalangan para
penguasa. Persoalan bangsa dapat dibahas dan diselesaikan di meja makan, dan
kantor kerakyatan pun berubah fungsi menjadi ruang keluarga.
Syukur yang kufur, diberikan kesempatan namun
mereka melalaikannya dan akhirnya menyesal. Kekuasaan yang tidak berkuasa, dia
akan mudah hancur sekalipun memiliki jutaan prajurit. Kebangsaan yang tidak
berbangsa, tidak mengutamakan masyarakat atas segalanya. Kebodohan yang membodohi,
melakukan suatu hal tanpa adanya pengetahuan yang menyeliputinya.
“Mereka yang tidak pernah bersyukur, mereka
yang bermalas-malasan, mereka yang memperebutkan, mereka yang tidak pernah mau
belajar... Bukankah ini suatu kenikmatan yang instan. Aku jamin mereka akan
mengikutiku dengan kenikmatan tersebut. Kecuali mereka-mereka yang selalu
hijrah dari empat dimensi tersebut.”
Tangerang, 20 Mei 2012